Senin, 09 Mei 2016 - 14:52:00 WIB - Viewer : 6392

Entreprenuer dan Kita

Oleh : FERI YULIANSYAH, ST, MT*

Apa yang pertama kali ada dibenak kita ketika mendengar kata Wiraswasta? Apa tanggapan kita jika ada dua orang sahabat atau bagian dari keluarga kita, yang satu mengatakan pekerjaannya sebagai Wiraswasta dan yang lain bilang sebagai PNS? Apa tanggapan kita terhadap yang wiraswasta? Tentunya macam-macam jawaban, namun umumnya jawaban dengan kedutan yang hampir sama ‘pandangan sebelah mata’.

Memang, Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa kebanyakan orangtua dimasyarakat kita masih belum familiar dan masih asing dengan dunia wirausaha, apalagi usaha baru (start-up) yang tentunya membutuhkan banyak aktifitas penjualan. Karena suka atau tidak suka, aktifitas penjualan masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita, karena kebanyakan kita tidak senang bertemu penjual  bahkan mungkin ada yang berharap rumahnya tidak pernah didatangi orang yang berjualan, yang pada akhirnya menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi para wirausahawan baru karena harus melalui tahapan awal yang tak mudah.  

Pekerjaan wiraswasta pun dimasyarakat kita masih menyisakan sentimen negatif. Wiraswasta bagi masyarakat identik dengan pekerjaan serabutan dan “rezeki macan”, yang tidak jelas masa depannya, apalagi masa pensiunnya. Bahkan, wiraswasta masih dianggap masyarakat sebagai pengangguran terselubung.

Pendapat dan pola pikir lama seperti inilah yang kemudian membuat profesi wiraswasta (usaha mandiri) menjadi remeh dimata para orang tua kita, meskipun sesungguhnya tidak seluruhnya demikian pada jaman seperti sekarang ini. Karenanya, hampir sebagian besar orangtua lebih mendorong anak-anaknya untuk bekerja terutama bekerja menjadi PNS atau pegawai BUMN, dengan harapan dapat meningkatkan derajat keluarga dimata lingkungan dan masyarakat sekitar, apalagi menjadi PNS atau Pegawai BUMN dianggap dapat menyelamatkan masa tua dengan uang pensiun yang akan diperoleh sampai dia meninggal.

Dalam tataran tertentu, ada sebagian orangtua yang lebih bersedia menyiapkan “modal sogokan” dalam jumlah yang cukup fantastis untuk memuluskan jalan anaknya menjadi PNS atau Pegawai BUMN, daripada memberikan modal tersebut untuk usaha awal anaknya. Bahkan dibeberapa daerah, walau terdengar sayup, seberapa besarnya pun angka pasaran nilai “sogokan” itu, si orangtua akan berusaha menyiapkan dan mencarikan modal tersebut asalkan anaknya bisa lulus menjadi PNS. Namun jika untuk modal usaha, jawabannya mungkin tidak ada uang.  

Perlahan tapi pasti, realitas dan pola pikir masyarakat seperti ini akan menyebabkan terus meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Bisa kita bayangkan Kesenjangan (Gap) antara Kesempatan Kerja dengan Jumlah Angkatan Kerja yang tinggi. Sekarang ini bisa dibayangkan, perbandingan jumlah PNS atau pegawai BUMN yang pensiun dengan begitu banyaknya mahasiswa-mahasiswi yang menjadi wisudawan dari berbagai kampus di Indonesia. Jadinya, bisa diamati sendiri, fakta dilapangan menyebutkan bahwa satu pekerjaan saja, diperlombakan oleh seribu calon pelamar kerja. Tentunya selisih jumlahnya tidak sedikit. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja atau tenaga muda yang siap kerja ini harus siap-siap menjadi calon pengangguran jika orientasi dan pola pikirnya tidak berubah, yang pada ujungnya akan menjadi masalah bagi bangsa dan negara. Apalagi saat ini pemerintah memberlakukan kebijakan moratorium (penghentian sementara) penerimaan PNS dalam kuruan 5 tahun kedepan. Mau kemana angkatan muda yang siap kerja ini jika pola pikir tidak berubah?

Wirausaha Pemula Butuh Dukungan “Persepsi” Masyarakat

Masalah Pengangguran adalah tantangan terbesar negara Indonesia dan merupakan salah satu barometer perekonomian suatu negara. Pemerintah memang harus berusaha menyelesaikan masalah pengangguran ini berdasarkan analisa yang ditinjau dari perspektif pemerintah, namun tentunya masyarakat juga harus ikut andil secara aktif dari sisi masyarakat untuk mengatasi masalah pengangguran ini, karena pengangguran ini juga adalah masalah yang harus dipecahkan oleh masyarakat sendiri dengan atau tanpa bantuan langsung pemerintah. Akan semakin baik dan menarik, jika masyarakat juga turut mendiskusikan masalah pengangguran ini dan mencoba menggali ide-ide untuk menjawab permasalahan ini.

Penulis berpendapat bahwa hal yang pertama yang dilakukan untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia, kita harus merubah pola pikir ‘mind-set’ masyarakat. Mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini berorientasi PNS atau pegawai BUMN dan lebih menghargai profesi tersebut sebagai kasta tinggi dalam strata sosial masyarakat, untuk perlahan berubah dengan lebih menghargai dan memberikan porsi salah satu kasta yang lebih baik untuk profesi wirausaha. 

Statistik menunjukkan bahwa jumlah pengusaha Indonesia ini jumlahnya hanya sekitar 0,18% dari total jumlah penduduk atau sekitar 432.000 orang. Sedangkan untuk menciptakan Negara Maju dengan tingkat pengangguran yang sangat rendah, setidaknya diperlukan minimal 2% pengusaha dari total penduduk. Ini menjadi ‘PR’ berat bagi kita bersama, bagaimana kita mendorong banyak orang untuk menjadi pengusaha dan menghargainya walau dalam proses menuju keberhasilan.

Ini tugas kita bersama-sama untuk memberikan tempat yang baik bagi para entreprenuer, Bagaimana kita sebagai orang tua nantinya lebih bangga dan berlomba untuk saling membanggakan jika kita mampu dan sukses menjadikan anak kita menjadi pengusaha, bukan lagi membanggakan anak jika menjadi PNS. Untuk hal ini, kita harus mau belajar dan membuka diri untuk banyak memahami ilmu dan kearifan masyarakat tionghoa di Indonesia.

Kita patut acungi jempol kepada anak-anak muda saat ini yang berani untuk membuka usaha sendiri dan memutuskan untuk menjadi wirausaha atau istilah anak-anak muda sebagai entrepreneur, yang dalam persepsi masyarakat saat ini terlihat lebih keren dan lebih mempunyai life style.

Ya, memang saat ini kata wiraswasta sudah ber-transformasi menjadi entreprenuer untuk menggantikan istilah usaha mandiri, wirausaha, atau berdikari, dengan harapan dapat membantu mengubah persepsi masyarakat terhadap profesi wirausaha dan juga dapat menambah kepercayaan diri (confidence) bagi pelaku wirausaha muda. Kata entreprenuer bak menjadi spirit baru yang memberikan life style dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi para entreprenuer muda. Tidak seperti dulu, dimana kegiatan wirausaha (entreprenuer saat ini) dilakukan kebanyakan semata-mata untuk menyambung hidup dan menjaga kelangsungan nafkah bagi keluarga, yang sangat jauh dari unsur keren.

Sebagai masyarakat, semangat dan kebanggaan para entreprenuer muda ini harus sama-sama kita bantu dorong dan kembangkan. Pendidikan atau kurikulum kewirausahaan yang telah diberikan oleh sebagian besar perguruan tinggi saat ini harus bersama-sama kita bantu kembangkan, agar semangat mendorong bertumbuhnya bibit-bibit wirausaha baru dari kalangan kampus bisa terwujud dengan baik yang pada akhirnya diharapkan akan membantu perekonomian negara secara keseluruhan.

Pertanyaannya, apakah kita sudah turut mendukung tumbuhnya bibit-bibit pengusaha baru di negeri kita?

(Bersambung....)

Penulis adalah Seorang Wirausaha dan Pengurus Hipmi Sumsel