Senin, 18 Des 2023 - 21:45:00 WIB - Viewer : 4472

Justifikasi Pengetahuan: Sebuah Teka-teki yang Dilematis

Penulis: Meri Andini

Keyakinan yang benar (true belief), yang bertebaran di sekitar kita, merupakan calon-calon pengetahuan. Sejenak, coba kita renungkan sebuah belief yang benar-benar kita yakini kebenarannya. Misalnya, keyakinan bahwa bumi mengelilingi matahari. Kemudian tanyakan kepada diri kita: Apa yang mendasari kebenaran dari keyakinan tersebut? Ya, inilah pertanyaan yang sangat penting bagi teori pengetahuan; justifikasi. Bahwa sebuah pengetahuan diyakini sebagai bukan sekadar true belief, melainkan justified-true belief. Meskipun kasus Gettier tentang unsur “keberuntungan” menunjukkan bahwa justifikasi saja tidak cukup (dengan true belief) untuk teori pengetahuan, setidaknya sangat masuk akal untuk menganggap bahwa justifikasi diperlukan untuk pengetahuan. Oleh karena itu, memahami apa yang dimaksud dengan justifikasi (pembenaran) adalah penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan pengetahuan. Namun kenyataannya, menentukan sifat pembenaran (justifikasi) ini bagaikan mengurai benang yang kusut.

 Justifikasi dan Fondasi: Sebuah Analogi

Bayangkan, suatu hari kita merancang sebuah rumah impian masa depan. Salah satu hal penting dan mendasar adalah bagaimana rumah ini memiliki fondasi yang kuat sehingga rumah kita dapat berdiri dengan kokoh dan tidak mudah roboh. Seindah apapun rumah yang kita bangun tentu tidak ada artinya apabila tidak memiliki fondasi; akan mudah jatuh dan roboh. Seperti itu pula sebuah keyakinan yang benar yang disertai sebuah justifikasi, maka keyakinan ini akan menjadi kuat dan tidak mudah “jatuh”. Sebaliknya, tanpa justifikasi, sebuah keyakinan akan mudah terkikis dan hilang.

Namun, adakalanya sebuah keyakinan yang kita pegang tidak didukung oleh alasan atau dasar apapun. Pritchard memberikan ilustrasi seorang anak kecil yang meyakini bahwa bulan itu seperti balon, dan ketika ditanya `mengapa`, ia tidak memiliki alasan apapun. Atau untuk menjawab pertanyaan “Apa yang membenarkan bahwa bumi mengelilingi matahari?”, maka ada kemungkinan seseorang tidak memiliki landasan apapun. Kondisi kedua, mungkin seseorang memberikan justifikasi bahwa keyakinan tersebut benar karena itulah yang tertulis dalam buku sains. Bila alasan ini adalah sebuah pengetahuan juga, maka haruslah ia berupa justified true belief, lantas apa yang membenarkan bahwa buku sains itu benar? Misalnya, karena ketika belajar di sekolah dulu, guru mengatakan bahwa buku tersebut adalah sumber yang dapat dipercaya. Berikutnya, apa yang membenarkan bahwa perkataan guru adalah benar? Mungkin saja karena guru tersebut adalah guru terbaik dan berprestasi. Dan seterusnya, hingga tiada berujung. Sehubungan dengan kondisi kedua ini, kemungkinan lain untuk menjawab pertanyaan pembenaran dari apa yang disampaikan guru adalah bahwa apa yang disampaikan guru sesuai dengan apa yang tertulis dalam buku sehingga membawa kembali kepada landasan awal. Dan seterusnya, terus berputar dan berulang-ulang. Ini adalah kondisi yang ketiga.

Bila dikaitkan dengan analogi fondasi rumah tadi, kondisi pertama ini bagaikan rumah yang tidak berfondasi, sedangkan kondisi yang kedua, seperti rumah dengan fondasi yang bertumpu pada fondasi lain membentuk rangkaian fondasi yang tak berhingga. Dan kondisi yang ketiga, ibarat rumah yang bertumpu pada pondasi selanjutnya yang pada akhirnya bertumpu pada pondasi semula. Tentu saja, pada kenyataannya, sangat sulit membayangkan bagaimana ketiga kondisi ini (khususnya dua kondisi terakhir) benar-benar terjadi. Namun, penekanannya adalah bahwa kondisi-kondisi ini pada akhirnya akan membawa pada sebuah kehancuran rumah indah yang telah susah payah dibangun itu.

Masalah Justifikasi dan Trilemma Agrippa

Dengan demikian, kita tampaknya disuguhkan tiga alternatif yang tidak menyenangkan mengenai cara kita menjawab pertanyaan tentang apa yang membenarkan keyakinan kita: keyakinan kita tidak didukung (kondisi pertama); keyakinan kita didukung rantai pembenaran yang tidak berhingga (kondisi kedua), dikenal dengan infinite justification; atau keyakinan kita didukung oleh rantai pembenaran yang melingkar (kondisi ketiga), dikenal dengan circular justification. Semua alternatif ini disebutkan Pritchard sebagai implikasi tersirat bahwa kita tidak benar-benar dibenarkan dalam memegang keyakinan kita. Inilah yang kemudian diangkat oleh Agrippa sebagai masalah dari struktur justifikasi pengetahuan, yang dikenal dengan Agrippa`s Trilemma.  Trilema itu seperti dilema, hanya saja trilema memaksa kita untuk memilih dari tiga pilihan yang tidak menyenangkan, bukan hanya dua. Di balik teka-teki ini, tersimpan sebuah manfaat yang memungkinkan kita memusatkan perhatian pada berbagai cara di mana pengetahuan dapat disusun jika ingin menghindari trilemma, sehingga muncullah tiga jenis teori epistemologis yang menjawab masalah tersebut.

Infinitisme, Koherentisme, dan Foundasionalisme: Jawaban-jawaban yang Menyisakan Tanda Tanya

Sebuah jawaban atau tanggapan yang paling tidak masuk akal (dan karena itu secara historis kurang populer) terhadap Trilemma Agrippa adalah dengan menerima pendapat bahwa infinite justification dapat membenarkan suatu keyakinan. Posisi ini dikenal sebagai infinitisme. Pandangan ini mempunyai beberapa pendukung, dan mereka yang mengajukan argumen ini berpendapat bahwa selain dari kontra-intuisi yang kasar, tidak jelas mengapa rantai landasan yang tak berhingga tidak dapat dijadikan justifikasi.

Tanggapan yang lebih masuk akal (dan lebih populer) terhadap Trilemma Agripa adalah dengan menerima circular justification. Sejalan dengan pernyataan dari Quine (1908-2000): “No statement is immune to revision”. Pandangan ini, yang dikenal sebagai koherentisme, biasanya dilengkapi dengan ketentuan bahwa lingkaran pembenaran harus cukup besar jika ingin memainkan peran pendukung ini.

Yang terakhir, pandangan yang dikenal dengan foundasionalisme (khususnya fondasionalisme klasik), seperti yang dipertahankan oleh Descartes, yang berpendapat bahwa ada beberapa landasan yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut, dan dengan demikian dapat bertindak sebagai landasan bagi keyakinan yang mendasarinya. Hal spesifik dari fondasionalisme klasik adalah bahwa keyakinan `fondasi` ini dianggap memiliki sifat-sifat yang memastikan bahwa keyakinan tersebut dapat membenarkan dirinya sendiri (self-justifying), seperti sifat tidak dapat disangkal atau tidak mungkin salah. Namun permasalahan yang dihadapi pandangan ini adalah sulitnya menemukan penjelasan yang masuk akal mengenai keyakinan-keyakinan dasar ini, sementara pada saat yang sama ada cukup banyak keyakinan kita sebagai landasan sehingga keyakinan-keyakinan tersebut dapat mendukung keyakinan-keyakinan lain yang kita anut.

Dengan demikian, tampaknya ketiga respon ini masih menyisakan misteri. Bagaimana sebaiknya kita menjustifikasi sebuah keyakinan yang benar sehingga ia dapat kokoh layaknya rumah berfondasi dan akhirnya layak menyandang gelar sebagai sebuah pengetahuan. Apakah ketiga cara ini merupakan alternatif yang cukup baik? Ataukah tidak lebih baik dari justifikasi yang seringkali digunakan bagi pengetahuan agama, seperti landasan wahyu? Tentu perlu kajian epistemologis yang mendalam. Kita tidak bisa menyepelekan teori justifikasi yang merupakan buah pemikiran para filsuf ini. Mungkin dalam satu hal, adakalanya membuat pilihan di antara ketiganya membantu kita mempertahankan keyakinan, namun dalam hal lain kadangkala teori dan rasionalitas saja tidak cukup untuk menjangkau sebuah pengetahuan.

Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Indonesia