Sabtu, 10 Sep 2016 - 01:53:00 WIB - Viewer : 5444

Pakar : Pemerintah Jangan Buru-buru Obral Insentif Migas

AMPERA.CO, Jakarta - Skema bagi hasil migas antara negara dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) ditengarai menjadi salah satu penyebab lesunya investasi migas. Diketahui, persentase bagi hasil antara negara dan KKKS yang diterapkan selama ini adalah 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas. Plt Menteri ESDM Luhut Panjaitan dan Menteri ESDM sebelumnya, Arcandra Tahar pun telah gencar mengkampanyekan akan merevisi skema tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010. Ke depan, pemerintah menghendaki agar porsi bagi hasil bagian negara mungkin saja diturunkan menjadi 70:30 saja.

Kendati begitu, pemerintah juga diharapkan tidak perlu tergesa-gesa melakukan revisi. Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam siaran persnya, Jumat (9/9) mengatakan, dengan konsep bagi hasil yang sekarang saja,  berdasarkan data dari SKK Migas, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas pada 2015 lebih kecil dibandingkan dengan tingkat pengembalian biaya eksplorasi (cost recovery) yang dibayarkan ke KKKS.

Yusri lantas mengutip keterangan Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi pada rilis awal tahun 2016, yang menyebut realisasi PNBP Migas hingga akhir tahun 2015 diprediksi hanya akan sebesar US$12,25 miliar atau 81,72 persen dari target APBNP 2015. “Sedangkan cost recovery diperkirakan mencapai US$13,82 miliar, sehingga Negara tekor sebesar USD 1,57 miliar atau setara Rp 20 triliun,” tegasnya memberikan perbandingan.

Yusri mengakui, upaya pemerintah yang terus memacu minat investor migas harus diapresiasi. Akan tetapi, tetap harus dilakukan ekstra hati-hati. Dia mewanti-wanti, jangan sampai kebijakan tersebut justru disalahgunakan oleh oknum pejabat migas, yang bermain mata dengan KKKS nakal. “Jangan sampai revisi PP 77 Tahun 2010 yang terburu-buru dengan alasan memacu aktivitas di hulu migas justru akhirnya berbuah ampasnya saja bagi negara. Bukankah praktek mark up atau korupsi yang sudah terbukti membuat sektor migas kita memble?” kritik dia.

Peringatan Yusri memang bukan tanpa sebab. Pada 14 April 2016 lalu, anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi telah merilis praktek penggelembungan besaran cost recovery di sektor hulu migas, yang dilakukan secara sengaja dan berulang oleh tujuh KKKS di enam wilayah kerja migas sejak beberapa tahun lalu. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2015, BPK menemukan adanya dugaan mark up sekitar Rp 4 triliun dari pelaporan cost recovery yang disodorkan tujuh KKKS. Achsanul pun mengancam akan membawa praktik mark up cost recovery ke jalur hukum. 

Ketujuh wilayah kerja yang dimaksud meliputi:

1. Blok South Natuna Sea “B” yang dikelola oleh ConocoPhillips Indonesia Inc. Ltd.
2. Blok Corridor yang digarap ConocoPhillips (Grissik) Ltd.
3.Blok Rokan yang dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia.
4. Blok Eks Pertamina yang dioperatori PT Pertamina EP.
5. Blok South East Sumatra yang digarap CNOOC SES LTD.
6. Blok Mahakam yang dikelola Total E &P Indonesie dan INPEX Corporation.
7. Blok Natuna Sea A kelolaan Premier Oil Natuna Sea B.V.