Sabtu, 10 Okt 2020 - 09:58:00 WIB - Viewer : 3380

Pemerintah Dituding Sembunyikan Dokumen Final UU Cipta Kerja untuk kuasai Narasi Publik

Redaksi AMPERA.CO

AMPERA.CO, Jakarta - Pemerintah dituding hendak menguasai narasi Undang-undang Cipta Kerja, karena masih menyembunyikan keberadaan dokumen final UU Cipta Kerja setelah disahkan di DPR RI dalam sidang paripurna Senin (5/10/2020) lalu.

Anggota DPR RI yang masuk anggota Badan Legislasi (Baleg) yang menggodok peraturan itu, bahkan tak tahu keberadaannya.  "Sampai tadi pagi kami tanya sekretariat belum ada," aku anggota Baleg DPR dari fraksi PKS Ledia Hanifa, Kamis (8/10/2020) yang dikutip dari tirto.id

Hal yang sama pun disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Didi Irawadi Syamsuddin, bahwa dirinya belum memegang naskah final UU Cipta Kerja. Ia bahkan menyatakan tidak menerima naskah final pada sidang paripurna. Menurutnya, ini kali pertama terjadi selama ia menjabat sebagai legislator tiga periode.

"Bahan-bahan untuk rapat tingkat komisi dan badan saja kami bisa mendapatkannya beberapa hari sebelumnya. Kenapa justru RUU omnibus law Ciptaker yang berdampak luas pada kehidupan kaum buruh, UMKM, lingkungan hidup, dll tidak tampak naskah RUU-nya sama sekali?" kata didi lewat keterangan tertulis yang diterima amperaco, kamis (8/10/2020).

Ketika dokumen final UU Cipta kerja belum tersedia, para menteri yang dikomandoi oleh Menko Polhukam, Mahfud MD, Rabu (7/10/2020) malah menjelaskan isi UU Ciptaker. Semua bernada positif dan bertolak belakang dengan apa yang disampaikan kelompok yang menolak UU omnibus law tersebut. Dalam forum itu, mereka membantah semua informasi yang disampaikan oleh oposisi, sebagai hoax dan disinformasi.

Masalahnya, masyarakat publik tak bisa memverifikasi karena sekali lagi tak ada dokumen resmi yang bisa diakses oleh publik.

"Bagaimana mau berpartisipasi kalau naskah akademiknya disembunyikan atau mana draf yang tidak jelas, mana yang asli, mana yang setengah asli, mana yang palsu, mana draf yang aktual, mana yang tengah, dan mana yang akhir?" kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang Fery Amsyari, Kamis (8/10).

Menurut Fery undang-undang sapu jagat ini cacat prosedural dan melanggar Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang terang menyatakan salah satu asas penyusunan undang-undang adalah keterbukaan.

“Semestinya, sejak proses penyusunan, naskah akademik dan draf rancangan undang-undang terbaru selalu dibagikan ke publik. Jika tidak dilakukan, akan berakibat pada hilangnya hak partisipasi masyarakat. Sikap tersebut berkonsekuensi hukum. Selain berpotensi dijegal oleh Mahkamah Konstitusi lewat judicial review, cacat prosedur itu juga bisa diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai tindakan malaadministrasi.” Kata fery.

Ketua Komisi X DPR RI Syamsul Huda pun menyatakan terkejut dengan isi UU cipta kerja ini  karena klaster pendidikan kembali muncul dalam draf RUU Cipta Kerja padahal dalam rapat sebelumnya (24/9/2020) Baleg dan Kemendikbud sepakat mencabutnya. Pasal 26 RUU Ciptaker memasukkan pendidikan sebagai entitas usaha; pasal 65 menegaskan itu dengan menyatakan pelaksanaan izin di sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Ini bertentangan dengan prinsip nirlaba pendidikan. "Ini di luar dugaan, karena perkembangan terakhir klaster pendidikan dikeluarkan dari RUU tersebut," ujar ketua komisi di bidang pendidikan itu.

Namun, Menko Airlangga Hartarto menepis hal itu. Ia katakan ketentuan soal pendidikan sudah disingkirkan dari Cipta Kerja. Sekali lagi pemerintah coba menguasai narasi mengenai Cipta Kerja tanpa bisa diverifikasi.