Jumat, 21 Okt 2016 - 11:24:00 WIB - Viewer : 6464

Refleksi 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK (1).

Kegaduhan Politik Lebih Ramai daripada Prestasi

oleh : Feri Yuliansyah, ST, MT

Tak terasa, pada tanggal 20 oktober 2016 kemarin, pemerintahan Jokowi-JK telah genap berusia 2 tahun. Dua tahun yang penuh sesak ekonomi, kegaduhan politik, dan hiruk pikuk media.

Begitu banyak klaim keberhasilan yang dilakukan pemerintah, diberitakan dan disiarkan media mainstream (pendukung), Namun kenyataannya, banyak masyarakat merasakan sebaliknya.

Secara umum, menurut penulis, pemerintah Jokowi-JK masih belum ada pencapaian penting, prestasi yang gemilang dan signifikan yang membawa terobosan dalam memperkuat agenda penegakan hukum, ekonomi yang mensejahterakan rakyat. Bahkan masih jauh dari apa yang pernah di kampanyekan Jokowi-Jk pada saat Pilpres 2014 yang lalu.

Kegaduhan Politik

Dua tahun ini, beberapa kali publik disajikan tontonan gejolak dan konflik antar-kementerian, Gejolak antara Menteri dengan Presiden, Konflik antara Menteri dan Wakil Presiden, dan terakhir perseteruan antara kementerian versus pemerintah provinsi, terkhusus Pemprov DKI Jakarta, yang berlangsung cukup berlarut-larut. Hal ini terntunya menjadi ironi dan cermin evaluasi bagi kepemimpinan Presiden kita.

Kita tentunya masih ingat, pernah mencuat isu ada seorang Menteri yang menghina Presiden Jokowi, dan konflik antar menteri karena penilaian kinerja oleh kementerian PAN RB, Konflik kebijakan antar kementerian BUMN & Menko Maritim, Konflik antara Menteri Rizal Ramli dan JK, dan terakhir Konflik antara Menteri Rizal Ramli dan Menteri Susi, dengan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama. Konflik yang berlangsung cukup lama dan terlihat nyata diruang publik, walau setelah berlarut-larut dilakukan langkah reshuffle jilid I dan reshuffle jilid II untuk menyelesaikan konflik antar menteri, dan mengganti Menteri yang dinilai tidak bisa bekerja memuaskan..

Selanjutnya adalah lambannya penyelesaian kegaduhan konflik anatar lembaga negara. Mulai dari berlarutnya penyelesaian konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI (POLRI) yang berujung saling jegal dan krimilisasi.

Konflik dengan DPR RI pun sempat terjadi dan berlarut-larut penyelesaiannya. Konflik yang dimulai karena sikap Eksekutif yang menjaga jarak dengan legislaltif (DPR RI) terkait pergolakan politik di tubuh legislatif itu akibat UU MD3, dimana saat itu (awal kepemimpinan) pihak eksekutif seolah ingin mendelegitimasi kepemimpinan di DPR-RI. Pemerintah seolah ingin kerja sendiri tanpa melibatkan DPR, yang secara hukum tata negara tidak mungkin dilakukan, karena segala program pemerintah harus mendapat persetujuan DPR. Komunikasi politik pemerintah saat itu dinilai DPR-RI kurang mencerminkan sosok kenegarawanan karena terkesan mau jalan sendiri. Kementerian dan lembaga-lembaga eksekutif dilarang memenuhi undangan rapat bersama DPR untuk membahas program-program pembangunan. Walau akhirnya mulai terlihat titik terang saat terjadi kompromi dan musyawarah yang intens antara KMP dan KIH, sehingga pemerintah mulai membuka komunikasi dengan DPR hingga sekarang.

Kegaduhan Politik juga menjadi hiruk pikuk karena Pemerintahan Jokowi-JK telah terlalu jauh  mengintervensi urusan internal partai politik yang bersebrangan dengan pemerintah, mulai dari intervensi terhadap kepengurusan di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), intervensi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan intervensi terhadap Partai Golkar. Kebijakan Pemerintah yang mengintervensi parpol ini telah menjadi tragedi politik di era Pemerintahan Jokowi-JK yang mengancam iklim demokrasi di Indonesia, yang tidak pernah terjadi pada Pemerintahan SBY yang mampu proporsional dalam menangani konflik internal partai, meskipun bersebrangan dengan Pemerintah pada saat itu.

Begitu banyak kegaduhan politik yang terjadi pada pemerintahan Jokowi-JK yang selalu menjadi perhatian publik dan penyelesaiannya cukup berlarut-larut.

Kegaduhan tak hanya berhenti di tingkat atas, pemerintah pun tampaknya sengaja mencipatakan kegaduhan di dalam masyarakat Gaya pemerintahan Jokowi-JK yang pengambilan kebijakan dengan gaya yang agak unik, dengan metode “test the water” dimana setiap pemerintah ingin mengambil sebuah kebijakan tertentu, isu tentang kebijakan tersebut telah bergulir dulu di publik. Tentu pernyataan rencana kebijakan tersebut tidak ke luar langsung dari lisan Presiden Jokowi, tapi bisa dari timnya di luar kabinet atau partai pendukungnya. Lalu terjadilah pro dan kontra di masyarakat. Pemerintah kemudian menilai respon masyarakat tadi. Dan saat itulah pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi muncul untuk mengambil keputusan.

Masih segar diingatan kita saat berembus isu kenaikan harga BBM.  Pro-kontra terjadi dengan dahsyat di kalangan publik, dan akhirnya Presiden Jokowi mengambil keputusan di saat-saat genting. Begitu juga saat Presiden Jokowi berniat menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Rencana ini membuat pro dan kontra serta kegaduhan di masyarakat. Dan pada akhirnya Presiden Jokowi membatalkan rencananya itu. Belum lama ini, kasus Archandra Tahar dan juga rencana pemerintah menaikan harga rokok menjadi Rp 50.000

Memang tidak ada salahnya model pengambilan kebijakan “test the water” ini, dibuat gaduh dulu di masyarakat, baru setelah itu diambil keputusan yang merupakan jalan tengah dari pro-kontra tadi. Walau sisi positifnya, partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik meningkat dan membuat publik semakin sadar politik, Namun kegaduhan yang terjadi dimasyarakat ini lebih banyak membuang energi masyarakat tersebut, yang pada akhirnya tetap menjadi pihak yang dikorbankan dari sebuah kebijakan. Contohnya kenaikan harga BBM yang meningkatkan inflasi serta menyebabkan harga-harga kebutuhan hidup meroket dan berimbas kepada menurunnya daya beli masyarakat. Dan ekonomi pun melambat.

(Bersambung)...