Sabtu, 04 Nov 2023 - 22:06:00 WIB - Viewer : 3396

Sales, Entrepreneur, dan (Pandangan Sebelah Mata) Kita

Opini : H. Feri Yuliansyah, ST, MT *

Apa yang pertama kali ada dibenak kita ketika mendengar kata Sales atau Wiraswasta? Apa tanggapan kita jika ada sahabat atau bagian dari keluarga kita yang mengatakan pekerjaannya adalah Seorang Sales? Atau mengatakan pekerjaannya sebagai Wiraswasta? atau yang mengatakan niatnya untuk menjadi wiraswasta? Tentunya macam-macam jawaban dengan kedutan yang hampir sama pandangan sebelah mata’.

Memang, Kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa kebanyakan orang dimasyarakat kita alergi terhadap dunia penjualan.  Secara naluriah, kebanyakan orang tidak senang bertemu penjual  (mungkin ada yang berharap rumahnya tidak pernah didatangi salesman seumur hidupnya). Tawaran menjadi wiraniaga(salesman) akhirnya menjadi salah satu momok yang menakutkan para pencari kerja, terutama bagi para mahasiswa yang baru menamatkan kuliahnya (fresh graduate).

Kata wiraswasta pun dimasyarakat kita masih menyisakan sentiment negative. Wiraswasta bagi masyarakat identik dengan pekerjaan serabutan. Karenanya, jikalau ada anak-anak muda yang membuka usaha sendiri, mereka menyebut diri mereka sebagai entrepreneur, agar lebih keren dimata masyarakat.

Bagi masyarakat kita, terutama orang tua, tentu akan lebih senang bila anaknya dapat menjadi PNS atau pegawai BUMN, selain dapat meningkatkan derajat dimata lingkungan, menjadi PNS atau Pegawai BUMN dianggap dapat menyelamatkan masa tua dengan uang pensiun yang akan diperoleh sampai dia meninggal. Pola pikir tersebut yang membuat profesi sebagai Salesman dan pengusaha (entreprenuer) menjadi remeh dimata para orang tua kita, meskipun sesungguhnya tidak seluruhnya demikian pada jaman sekarang.

Menurut penulis, pola pikir masyarakat seperti inilah yang menyebabkan terus meningkatnya angka pengangguran di Indonesia. Bisa kita bayangkan Gap antara Kesempatan Kerja dengan Jumlah Angkatan Kerja yang tinggi. Sekarang ini bisa dibayangkan, perbandingan jumlah PNS atau pegawai BUMN yang pensiun dengan begitu banyaknya mahasiswa-mahasiswi yang menjadi wisudawan dari berbagai kampus di Indonesia. Jadinya, bisa diamati sendiri, fakta dilapangan menyebutkan bahwa satu pekerjaan saja, diperlombakan oleh seribu calon pelamar kerja. Tentunya selisih jumlahnya tidak sedikit. Mereka yang termasuk dalam Angkatan Kerja atau tenaga muda yang siap kerja ini harus siap-siap menjadi calon pengangguran jika orientasi dan pola pikirnya tidak berubah, yang pada ujungnya akan menjadi masalah bagi bangsa dan negara.

Masalah Pengangguran adalah tantangan terbesar negara Indonesia dan merupakan salah satu barometer perekonomian suatu negara. Pemerintah memang harus berusaha menyelesaikan masalah pengangguran ini berdasarkan analisa yang ditinjau dari perspektif pemerintah, namun tentunya masyarakat juga harus ikut andil secara aktif dari sisi masyarakat untuk mengatasi masalah pengangguran ini, karena pengangguran ini juga adalah masalah yang harus dipecahkan oleh masyarakat sendiri dengan atau tanpa bantuan langsung pemerintah. Akan semakin baik dan menarik, jika masyarakat juga turut mendiskusikan masalah pengangguran ini dan mencoba menggali ide-ide untuk menjawab permasalahan ini.

Penulis berpendapat bahwa hal yang pertama yang dilakukan untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia, kita harus merubah pola pikir ‘mind-set’ masyarakat. Mengubah pola pikir masyarakat yang selama ini berorientasi PNS atau pegawai BUMN dan lebih menghargai profesi tersebut sebagai kasta tinggi dalam strata sosial masyarakat, untuk berubah dengan lebih menghargai dan menempatkan entreprenuer sebagai kasta yang lebih baik.  

Statistik menunjukkan bahwa jumlah pengusaha Indonesia ini jumlahnya hanya sekitar 0,18% dari total jumlah penduduk atau sekitar 432.000 orang. Sedangkan untuk menciptakan Negara Maju dengan tingkat pengangguran yang sangat rendah, setidaknya diperlukan minimal 2% pengusaha dari total penduduk. Ini menjadi ‘PR’ berat bagi kita bersama, bagaimana kita mendorong banyak orang untuk menjadi pengusaha dan menghargainya walau dalam proses menuju keberhasilan. Ini tugas kita bersama-sama untuk memberikan tempat yang baik bagi para entreprenuer, Bagaimana kita sebagai orang tua nantinya lebih bangga dan berlomba untuk saling membanggakan jika kita mampu dan sukses menjadikan anak kita menjadi pengusaha, bukan lagi membanggakan anak jika menjadi PNS. Untuk hal ini, kita harus mau belajar dan membuka diri untuk banyak memahami ilmu dan kearifan masyarakat tionghoa di Indonesia.

Kedua, diperlukan pendidikan atau kurikulum perkuliahan yang bisa membentuk lulusan yang lebih kreatif dan aktif sebagai modal dasar untuk mendorong mahasiswa menjadi calon entrepreneur di masa mendatang. Ini menjadi auto-critic sistem pendidikan di Indonesia, agar sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya mendidik mahasiswa yang hanya siap jadi pekerja, tapi juga mendidik mereka memiliki daya kreasi untuk menciptakan kerja atau dalam istilah lain menjadi pengusaha. Ini agar nanti ke depan, jika ada pertanyaan kepada mahasiswa untuk apa mereka kuliah? Mereka tidak lagi hanya menjadi “Untuk lulus supaya nanti dapat kerja”.

Disinilah peran masyarakat, guru, dan dosen untuk berpartisipasi secara aktif mengarahkan (mengubah ke arah positif) pola pikir masyarakat dengan memberikan edukasi dan penjelasan yang baik mengenai pola dan kerangka mengatasi pengangguran dan membentuk negara Indonesia yang jauh lebih maju ke depan. Untuk memulainya, diperlukan update dan upgrade materi pengetahuan pengajaran mengenai entreprenuership, yang bukan sekedar teoritis. Namun dibutuhkan praktek dan jam terbang yang lebih banyak.

Menjadi Salesman sebagai Langkah awal Entreprenuer.

Mungkin Banyak orang yang bertanya bagaimana caranya mengarahkan mahasiswa untuk berani mulai berbisnis. Apalagi jika pertanyaannya ditambahin embel-embel bahwa mereka sebetulnya ingin memulai bisnis namun terkendala alasan tidak memiliki modal yang cukup, apalagi dibumbuhi bahwa mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ini belum lagi ditambah dengan kenyataan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang di Indonesia maka keinginan untuk menjadi entreprenuer semakin rendah. Menjadi Salesman mungkin bisa dijadikan titik tengah atau jembatannya. Toh saat ini, seiring dengan persaingan besar di asia tenggara, jumlah lowongan untuk posisi dibidang penjualan sangat terbuka lebar. Bahkan sebagian besar BUMN pun sangat membutuhkan sales person yang handal untuk mendukung pertumbuhan bisnisnya dalam menghadapi persaingan bebas ini. Jumlah lowongan yang dibutuhkan sangat banyak sementara jumlah pelamar pada posisi ini juga tidaklah banyak. Ini peluang yang bisa menjadi jembatan untuk langkah maju untuk menjadi entreprenuer, karena tidak dapat dipungkiri, kemampuan sales merupakan salah satu unsur penting bagi entreprenuer. Menjadi salesman juga bisa menjadi latihan menjadi pengusaha yang dibayarin orang. Tentu asyik kan.

Menjadi Salesman juga bisa menjadi sarana untuk mengumpulkan modal, baik itu modal uang, modal jaringan (network), modal pengalaman, dan juga modal keberanian. Modal network dan modal pengalaman adalah hal yang sangat penting dalam dunia entreprenuer, karena itu adalah modal awal yang menjadi kunci kesuksesan dalam menjalankan usaha. Dan ketika dia telah bisa mandiri menjadi pengusaha, setidak-tidaknya telah mengurangi satu penganguran terdidik. Bahkan syukur-syukur jika satu orang entreprenuer bisa merekrut minimal 50 orang untuk menjadi karyawannya. Jika ini terwujud, tentulah kelak Indonesia akan menjadi negara yang makmur yang tidak perlu lagi untuk mengekspor TKI ke luar negeri, bahkan mungkin warga negara tetangga kita seperti singapura dan malaysia akan berbalik menjadi buruh di Indonesia. Yakin kita bisa!!!

* Penulis adalah Pengusaha dan Dosen Fakultas Teknik Universitas Tamansiswa Palembang