Kamis, 06 Okt 2016 - 22:55:00 WIB - Viewer : 7208

50% Kapal Offshore Stop Berlayar Karena Bisnis Sepi

AMPERA.CO, Jakarta - Akibat sepinya kegiatan minyak dan gas lepas pantai di Indonesia, sebanyak 50% kapal pendukung industri ini terpaksa lego jangkar selama berbulan-bulan. 

Eddy K. Logam, Presiden Director PT Logindo Sukses Makmur, mengatakan sekitar 60% dari total 59 armadanya milik perusahaan terpaksa berhenti beroperasi sejak sepinya kegiatan lepas pantai di dalam negeri. 

"Sudah utilisasi turun 50%, harga sewa atau angkut juga turun 50%," ungkapnya, Kamis (6/10). 

Padahal, dia menambahkan perusahaan telah mengelontorkan investasi sekitar Rp3 triliun untuk pengadaan kapal. Tidak hanya itu, sekitar 200 kru dari 700 kru kapal perusahaan terpaksa dirumahkan. Langkah ini harus diambil karena perusahaan harus menekan biaya ketika sepi order. 

Menurutnya, sepinya kegiatan minyak dan gas (migas) di lepas pantai dalam negeri disebabkan oleh turunnya harga minyak yang mencapai kisaran US$40 per barel. Alhasil, semua pemain di industri migas dalam negeri lebih memilih untuk melakukan impor ketimbang mencari cadangan baru.  

Kondisi serupa juga dirasakan oleh beberapa perusahaan yang menyediakan jasa angkutan lepas pantai. Nova Y. Mugijanto, Managing Director PT Pan Maritime Wira Prawitra, mengeluhkan tingkat utilisasi kapal yang turun sekitar 30%-40%. 

Sejak lima tahun lalu sejak asas cabotage di angkutan offshore mulai bangkit, dia menuturkan banyak perusahaan yang mengadakan kapal baru untuk kegiatan migas di dalam negeri. Kebanyakan perusahaan melakukan pengadaan kapal dengan mengunakan dana perbankan melalui skema pinjaman.

"Baru pada utang, belum lunas. Dampaknya bisa ke perbankan juga," keluhnya. Dengan sangat terpaksa, dia mengatakan banyak pengusaha yang memohon untuk reschedule utangnya kepada bank. 

Pengusaha melakukan investasi besar-besaran beberapa tahun lalu karena berharap penuh proyek migas seperti Masela, Indonesia Deepwater Development (IDD), Tangguh bisa berjalan. Kenyataannya, lanjutnya, kegiatan eksplorasi atau eksploitasi pada tahun ini sangat sepi.

Dalam kondisi sepi muatan ini, Eddy yang juga menjabat Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) mendesak agar SKK Migas dan Kementerian ESDM tidak tinggal diam. 

Dia meminta agar pemerintah hanya fokus memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri dengan impor karena memanfaatkan momentum harga minyak yang rendah. 

"Kebutuhan minyak dalam negeri saat ini sekitar 1,5 juta barel, separuhnya kita impor. Sedangkan data-data menunjukan kebutuhan minyak kita pada 2020 mendekati angka 2 juta barel," ujarnya. 

Melihat kenyataan ini, dia mengaku miris karena ketahanan energi Indonesia sangat lemah sekali.  Harusnya, imbuh Eddy, pemerintah mendorong perusahaan migas untuk melakukan eksplorasi cadangan baru.

Memang bagi negara berkembang seperti Indonesia, kegiatan eksplorasi masih membutuhkan kerjasama perusahaan minyak asing. Namun di tengah lesunya harga minyak, seharusnya pemerintah memberikan kelonggaran perizinan eksplorasi. 

Aturan production sharing contract jelas mengatur bagi hasil sebesar 85% bagi negara dan 15% bagi investor, sementara semua risiko ditanggung investor. 

Belum lagi, perizinan yang berbelit seperti izin pengeboran minyak yang mencapai lebih 200 izin. Tentu hal semacam ini mengurangi ketertarikan swasta untuk mengarap eksplorasi sumber energi baru di Indonesia.  

"Kalau eksplorasi sangat kecil tahun ini. Kalaupun ada eksplorasi sekarang, hasilnya juga baru terlihat lima tahun lagi." 

Dia berharap pemerintah tidak tinggal diam melihat kondisi ini. 

Lebih lanjut, dia menambahkan pemerintah tidak memberikan insentif kepada sektor pelayaran offshore, tetapi sektor hulunya harus diperkuat dengan menyediakan fasilitas tax holiday atau relaksasi aturan yang menganjal investasi. 

    Simak Berita lainnya seputar topik artikel ini :

  • bisnis
  • ekonomi