Jumat, 21 Apr 2017 - 08:33:00 WIB - Viewer : 9464

Bisnis sawit bagi petani, tak selamanya enak. Banyak suka duka yang dilalui

Laporan : Nataya Anindita*

AMPERA.CO,Pekanbaru - Kelapa sawit bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas strategis yang mempunyai pengaruh yang sangat besar. Bersama Malaysia, Indonesia merupakan 2 negara yang menghasilkan sekitar 80-90% dari total produksi minyak sawit dunia.

Permintaan dunia akan kelapa sawit yang besar membuat industri ini berkembang begitu pesat. Hal ini dikarenakan kelapa sawit menghasilkan minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan makanan, kosmetik, bahkan sebagai sumber biodiesel. Selain itu, minyak sawit merupakan minyak yang termasuk murah dan mudah diproduksi. Sehingga tak heran jika permintaan dan pertumbuhan industri perkebunan sawit meningkat tajam dari tahun ke tahun.

Lalu bagaimana dengan nasib petani sawit kita di Indonesia. Kami mencoba mencari gambaran detail dengan mewawancarai petani sawit di Pekanbaru, salah satunya bernama Dedi, yang telah memulai bisnis sawit sejak tahun 1995.

Menurutnya, investasi berbisnis di industri kelapa sawit saat ini masih menjanjikan, karena market-nya masih terus berkembang dan harga sawit per kilo pun cenderung stabil. Harga dollar yang tinggi sekilas terlihat menguntungkan para pengusaha sawit dikarenakan sebagian besar produksi sawit diekspor ke luar negeri.

“Namun pada kenyataannya kenaikan dollar memberikan dampak yang negatif bagi para petani sawit karena harga pupuk yang sebagian besar diimpor juga ikut naik. Hal ini mengakibatkan produksi sawit petani berkurang karena mereka tidak mampu memberikan pupuk yang cukup untuk sawit mereka. Sedangkan hasil buah sawit sangat dipengaruhi oleh jumlah pupuk yang diberikan.” ujarnya

Ditambahkannya, Kondisi ekonomi dan politik luar negeri juga sangat mempengaruhi harga sawit di Indonesia. Misalnya, sekarang ini Eropa memboikot penjualan sawit dari Indonesia karena mereka menganggap industri kelapa sawit kita merusak lingkungan. Situasi ini pun membuat harga sawit sekarang turun dikarenakan permintaan yang berkurang akibat pemboikotan tersebut.

“Dulu juga pernah terjadi kasus penurunan harga sawit secara drastis karena minyak sawit (Crude Palm Oil) yang diekspor dari Indonesia dicampur air, sehingga pihak asing mengeluhkan hal tersebut dan mulai tidak percaya terhadap kualitas CPO dari Indonesia.” katanya

Petani sawit bisa bersuka cita, jelasnya, ketika permintaan dari luar negeri meningkat tajam. Misalnya, ketika tahun 2005, harga sawit perkilo mencapai titik tertinggi yakni Rp2200 dimana harga normalnya sekitar Rp1200/kilo. Peristiwa ini tak lepas dari permintaan Amerika yang tinggi. “pada saat itu, break even point mencapai sekitar 6 tahun dari tahun pertama dimulainya bisnis sawit tersebut.” Ujarnya.

Menurutnya, Banyak orang beranggapan bahwa pebisnis sawit itu memiliki duit banyak tanpa harus kerja keras. Anggapan ini tentu tidak tepat karena mereka tidak mengetahui suka duka yang telah dialami dirinya dalam merintis lahan sawit yang ia punya.

“dibutuhkan komitmen dan disiplin diri untuk bisa mengembangkan bisnis sawit, diantaranya rajin mengontrol ke lapangan, rutin dalam penjadwalan pupuk, membersihkan lahan dari gulma, bahkan merawat jalan dan saluran drainase.” Katanya.

Dijelaskannya, Jalan yang bagus sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya operasional, sehingga beliau harus memastikan jalan yang baik untuk aksesibilitas truk pengangkut sawit. Segala kegiatan tersebut tidak bisa semata-mata diserahkan oleh anak buahnya, melainkan beliau juga harus terjun langsung dalam proses tersebut.

“apapun usaha yang dirintis, pasti ada saat dimana kita berjaya dan ada saat dimana kita terpuruk. Yang terpenting ialah seberapa besar usaha kita untuk terus bertahan dan mengembangkan bisnis kita. Jangan sekali-kali merasa puas dengan apa yang sudah kita dapat. ” tandasnya.

*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Master Of Business Administration Institut Teknologi Bandung (ITB)