Rabu, 23 Agu 2017 - 12:59:00 WIB - Viewer : 10456

Catatan Peserta Seleksi Bawaslu Sumsel untuk Perbaikan Bersama

Catatan : Feri Yuliansyah

ilustrasi

AMPERA.CO, Palembang – Proses seleksi tahap ke-2 calon anggota badan pengawas pemilu (Bawaslu) sumsel telah usai dan selanjutnya menunggu pengumuman hasil 6 besar peserta untuk kemudian dilakukan fit and proper test oleh Bawaslu RI.

Penulis sebagai salah satu peserta seleksi Bawaslu Sumsel meninggalkan beberapa catatan untuk untuk perbaikan bersama kedepannya, mengingat ekspektasi publik terhadap penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) di Indonesia terkhusus di Sumsel akhir-akhir ini cukup tinggi, karena dari “tangan” KPU dan Bawaslu-lah (Sumsel) muncul kepala daerah dan juga perwakilan rakyat sumsel di masa depan, yang memiliki kualitas dan integritas yang baik, yang sangat tergantung dari cara kerja yang jujur, objektif dan independen dari anggota komisioner KPU dan Bawaslu. Dengan kata lain, output pemilu berkualitas atau tidak, tergantung dari proses yang jujur, transparan, objektif dan independen para penyelenggara pemilu.

Karenanya, proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu (Sumsel) harus mengedepankan kejujuran, obyektifitas, transparansi dan akuntabilitas, mengingat tantangan demokrasi dan penyelengaraan pemilu (termasuk didalamnya penyelenggara pemilu) ke depan semakin hebat, dimana kompleksitas pelaksanaan pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif yang akan dilaksanakan secara serentak, juga dengan menggunakan UU Pemilu yang baru, yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, serta langsung berhadapan dengan hiruk pikuk kompleksitas persiapan pelaksanaan Pilkada serentak 2018 yang baru pertama kalinya menggunakan KTP elektronik yang dapat dibayangkan tingkat resiko kegaduhannya, jika pemilihan para penyelenggara pemilu tidak dilakukan dengan baik.

Berikut catatan penulis mengenai proses seleksi Bawaslu sumsel berdasarkan pengamatan dan kejadian yang dialami oleh penulis sendiri.

Proses seleksi tes tertulis, test kesehatan tahap I, dan test psikologi tahap I sejatinya menjadi seleksi yang paling objektif dan terukur, terlebih test tertulis Bawaslu sumsel kali ini menggunakan sistem CAT (Computer Assisted Test) di Fakultas Kedokteran Unsri Palembang, dimana hasil test tertulis seluruh peserta bisa langsung terlihat dan diurutkan sesuai ranking saat test selesai, serta bisa langsung diumumkan hasilnya, layaknya yang dilakukan pemerintah usai seleksi test CAT penerimaan PNS. Sayangnya, hingga pengumuman hasil tes tertulis, test kesehatan tahap I, dan test psikologi tahap I yang mengumumkan 19 nama peserta yang lulus, hasil pemeringkatan nilai test CAT tidak kunjung diumumkan secara resmi, apalagi rekapitulasi keseluruhan nilai CAT, test kesehatan, dan test psikologi keseluruhan peserta, termasuk hasil peserta yang lulus.

Ketidak-transparanan tim seleksi inilah yang kemudian memicu para peserta yang tidak lulus mengajukan keberatan dan hendak mengadukan proses seleksi seleksi ini ke Bawaslu RI, Komisi II DPR RI, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI. Terlebih ada kejadian-kejadian lain yang makin memperkuat argumentasi meragukan independensi dan ketidak-transparanan tim seleksi, seperti adanya peserta yang bisa mengulang test psikologi dan juga adanya peserta yang lulus tes tertulis, test kesehatan tahap I, dan test psikologi tahap I, namun justru nilai CAT-nya jauh dibawah nilai yang tidak lulus, karena daftar rangking nilai hasil ujian CAT telah beredar secara tidak resmi di sebagian kalangan peserta.

Kekurang-transparanan timsel pada tahapan ini menjadi satu catatan tersendiri bagi saya, mengingat Tim seleksi yang terdiri dari 5 akademisi; Dr. Hj. Sri Rahayu, SE, MM (Direktur Pasca Sarjana UMP), H. Chandra Puspa Mirza, SH, MH (Akademisi dan mantan komisioner KPU Sumsel), Prof. Dr. Alfitri (Guru Besar FISIP Unsri), Dr. Mohammad Syawaluddin, M.Ag. (Dosen UIN Raden Fatah), Dr. Febrian, SH.,MS (Dekan FH Unsri) adalah orang-orang yang mempunyai nama besar, diasumsikan memiliki kompetensi yang baik dan memiliki kapasitas yang mumpuni untuk melakukan test secara objektif, transparan dan independen, menurut saya harusnya paham betul dengan kondisi seleksi ini, dan seminimal mungkin meminimalisir ketidak-transparan proses seleksi yang harusnya sangat terukur ini, sehingga meminimalisir kecurigaan peserta atas indenpendensi dan kejujuran timsel, yang secara langsung atau tidak langsung akan turut mempertaruhkan nama baik dan kredibilitas masing-masing.  

Memasuki proses seleksi kesehatan tahap II, test psikologi tahap II, dan Wawancara, saya sebagai salah satu peserta yang berkesempatan mengikuti proses seleksi tahap ini memberikan catatan yang positif untuk proses test kesehatan di RS Bhayangkara dan test psikologi di Polda Sumsel, karena menurut saya metode test yang diberikan cukup terukur dan biasanya hasil test-nya bisa terukur dan akuntable karena jika ada penyimpangan, hasilnya bisa di-audit dan dipahami oleh banyak pihak karena menggunakan instrumen yang terukur dengan akurasi yang baik.

Pada tahap ini, proses seleksi yang lebih pelik adalah test Wawancara, karena menurut saya, bukan hanya kapasitas dan integritas peserta seleksi yang di uji, namun juga objektifitas, kapasitas, integritas, dan independensi timsel akan diuji pada proses wawancara, bagaimana instrumen dan pengukuran  penilaian kompetensi dan aspek lainnya yang dibutuhkan untuk menjadi anggota bawaslu.

Proses wawancara ini tentunya tidak mudah, karena terdapat subjektiftas yang besar dan condong berpotensi terjadinya tarik-menarik kepentingan jika timsel tidak menggunakan instrumen penilaian yang akurat dan terukur. Disinilah menurut saya, seluruh integritas, kapasitas, objektifitas, dan independensi timsel (akademisi) diuji dan dipertaruhkan. Apakah timsel telah menunaikan tugas yang diamanahkan dengan baik atau tidak?

Pada proses ini setidaknya saya mencatat beberapa hal, baik didalam substansi proses wawancara maupun kondisi diluar substansi, seperti jadwal wawancara yang molor hingga 1 jam karena beberapa anggota timsel yang terlambat/belum datang, satu per satu anggota timsel yang meninggalkan ruang wawancara (usai bertanya) saat proses wawancara sedang berlangsung yang menyisakan 2 timsel, hingga terjadinya 2 kali proses wawancara karena anggota timsel belum hadir saat wawancara dilakukan pada jadwal semula (siang) dan wawancara ulang dimalam harinya.

Untuk substansi wawancara, saya pribadi yang menjalani proses tersebut masih belum memahami, substansi apa yang dicari dan ingin diekplorasi oleh pewawancara (timsel) terhadap peserta seleksi, karena pertanyaan yang bias dan kurang mendalam, walaupun sejatinya hal itu adalah hak prerogatif pewawancara (timsel), namun menurut saya, demi terwujudnya proses seleksi yang akuntable, transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, setiap materi seleksi harus mempunyai ukuran dan instrumen yang jelas, sisi apakah yang hendak di eksplorasi dari perserta seleksi dan paramenter penilaian, hingga tidak menimbulkan persepsi peserta yang keliru hingga terjadinya kecurigaan “pengkondisian” proses seleksi.

Dalam proses wawancara ini, bagi saya ada satu catatan lain yang sangat menggelikan bagi saya, ketika peserta seleksi di interview seolah terdakwa dipengadilan yang dicecar pertanyaan oleh jaksa, dan jawabannya harus “memuaskan” jaksa. Yang saya geli, apakah gaya bertanya seperti “jaksa” itu adalah metodologi ilmiah yang bisa mengekplorasi kompetensi dan integritas peserta seleksi? Atau metode ini metode kreatif untuk bisa menguji ilmu kepemiluan peserta seleksi layaknya sidang skripsi? Walau hal ini kembali lagi merupakan hak ekslusif pewawancara (timsel), namun apakah metodologi ini tepat, akurat, dan dapat dipertanggung jawabkan, untuk mencari kandidat anggota bawaslu terbaik?

Memang proses wawancara telah usai, dan nama-nama 6 besar peserta seleksi bawaslu telah/akan segera diajukan ke Bawaslu RI untuk kemudian digodok dan segera diumumkan hasilnya dalam waktu dekat, dan semoga dihasilkan nama-nama yang memiliki kredibilitas, kejujuran, prestasi, prospek, dan hal-hal yang terkait dengan sisi manusiawi lainnya, yang mampu menjawab tantangan kepemiluan di masa mendatang.

Bagi penulis, baik peserta seleksi dan mau timsel mempunyai beban dan tanggung jawab masing-masing dan menjadi amanah yang yang harus dipertanggung jawabkan dimasyarakat (urusan duniawi) dan tanggung jawab di akhirat, namun untuk evaluasi dan kebaikan kita bersama didunia ini dalam proses seleksi penyelenggara pemilu yang harus mengedepankan kejujuran, obyektifitas, transparansi dan akuntabilitas, adalah suatu kebaikan dan keharusan jika timsel ataupun Bawaslu RI mengumumkan nilai hasil test secara transparan dan terbuka, agar tidak menjadi “aroma busuk” pengkondisian, dan juga tidak menjadi polemik (berulang) dikemudian hari. Karena kalau bukan kita yang memperbaiki proses demokrasi dan kepemiluan di Indonesia terkhusus Sumsel, lalu siapa lagi? Kalau bukan sekarang diperbaiki, lalu kapan lagi?