Selasa, 14 Jul 2015 - 02:21:00 WIB - Viewer : 53792

Menangis Di Penghujung Ramadhan

AMPERA.CO - Tak terasa, Ramadhan akan segera meninggalkan kita kembali. Padahal masih banyak ibadah kita dibulan ramadhan ini yang belum optimal, dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap Ramadhan akan pergi meninggalkan mereka, selalu ada tetesan air mata dan ucapan doa ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka. Berlalunya bulan Ramadhan, membuat hati menjadi sedih.

Maka tak heran jika pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf, yang di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah SWT lainnya.

Dari sahabat Jabir RA, Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah seluruh penghuni langit dan bumi serta para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”

“Dalam bulan Ramadhan itu , semua doa dikabulkan, semua sedekah diterima, dan semua kebaikan dilipat gandakan pahalanya serta siksa pun ditolak / dihentikan, maka  apakah ada musibah yang lebih besar dari perginya bulan Ramadhan?"

Kalau semua penghuni langit dan bumi menangis sebab kepentingan kita, tentunya kita lebih berhak menangis dan lebih sayang dengan terputusnya segala keutamaan dan kemuliaan ini. Allahu’alam (Hayatul Quluubi) 

Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan kita. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah swt membukakan pintu-pintu surga, dan menutup pintu-pintu neraka, serta membelenggu setan.

Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.

Suatu hari, pada sebuah shalat ’Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah SWT selama tiga puluh hari, berdiri melakukan sholat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah SWT agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.
Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tersebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali RA bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ’melayatnya’.”

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka. Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan akan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya Idul Fitri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain. 

Sepertinya lebih banyak umat Muslim Indonesia yang bergembira dengan berakhirnya Ramadhan sebab mereka nanti bisa dengan bebas berbuat maksiat lagi. Bahkan, di sepuluh hari terakhir pun kita dapat dengan mudah melihat banyak orang yang sudah tidak berpuasa, mereka merokok dan makan-minum di depan umum tanpa rasa malu lagi. Pemandangan ini memang sangat menyedihkan. Naudzubillah!  Mereka sepertinya lupa bahwa hal itu merupakan dosa besar dan Allah SWT mengancam dengan azab dan siksa yang pedih bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan tanpa alasan yang syar’i (dibenarkan oleh syariat). Para pelakunya akan diancam dengan siksa neraka sesuai dengan sabda Baginda Rasulullah SAW,

“Ketika aku tidur, aku didatangi dua orang lelaki. Mereka pun mengambil lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Mereka mengatakan kepadaku, ’Panjatlah!’ Aku katakan, ’Aku tidak bisa.’ Mereka menjawab, ’Kami akan memudahkannya untukmu.’ Aku pun memanjatnya, hingga ketika sudah di puncak gunung, tiba-tiba aku mendengar suara yang keras. Aku bertanya, ’Suara apa ini?’ Mereka menjawab, ’Ini raungan penduduk neraka.’ Aku pun pergi hingga aku melihat sebuah kaum yang digantungkan tumit-tumitnya dan robek pipi-pipi mereka. Mengalir darah dari pipi mereka. Aku pun bertanya, ’Siapa mereka ini?’ Mereka mengatakan, ’Mereka ini adalah orang-orang yang berbuka sebelum waktu selesainya puasa’.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu di dalam Shahihut Targhib wat Tarhi)

Kalau kita amati suasana Ramadhan pun telah berubah drastis, mesjid dan musholla yang tadinya ramai perlahan sepi. Jama’ah sholat tarawih pun semakin menyusut. Ironisnya, umat Muslim lebih banyak meramaikan mal-mal dan pusat perbelanjaan ketimbang meramaikan mesjid serta musholla untuk iktikaf. Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk berpesta pora di hari Lebaran.

Sahabatku, janganlah diperturutkan hawa nafsu untuk mempersiapkan hari raya Idul Fitri yang tidak pada tempatnya. Layakkah kita bergembira ria dan merasa jadi seorang pemenang, sementara amal ibadah kita hanya sekedarnya saja? Sementara kita tidak tahu apakah ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita.

Kita tidak tahu apakah kita termasuk golongan yang benar-benar terlatih sehingga mampu menghadapi rayuan setan yang selalu berusaha mengajak untuk mengikuti jalannya. Kita juga tidak tahu apakah setelah Ramadhan, kita termasuk orang-orang yang tidak lagi mempertuhankan hawa nafsu dunia yang kelak hanya akan membawa kita ke jurang neraka.

Oleh karenanya, manfaatkanlah waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin. Hingga tak ada penyesalan yang timbul di hati kita setelah kepergian Ramadhan nan muia. Semoga saja rangkaian ibadah yang telah kita lakukan selama Ramadhan berlangsung akan mampu merubah kita menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Amiin.

“Dan Baginda Rasulullah SAW pun menangis. Para sahabat pun menangis. Orang-orang shaleh sampai saat ini pun menangis. Mereka seakan tak kuasa harus berpisah dengan bulan yang penuh berkah ini. ’Ya Allah, pertemukan lagi kami dengan Ramadhan selanjutnya’, begitulah do’a mereka.”

Feri Y

Whatsapp