Selasa, 11 Okt 2016 - 21:30:00 WIB - Viewer : 4772

Pemerintah Perlu Tiru Inggris untuk Kejar Pajak Google

Ed : Feri Yuliansyah

AMPERA.CO, Jakarta - Kabar keberhasilan pemerintah Inggris memungut pajak jutaan euro dari Facebook bisa menjadi contoh bagi Pemerintah Indonesia masih kesulitan mengejar pajak dari perusahaan digital (Over The Top/OTT) multinasional, seperti Google, Facebook, Yahoo, dan Twitter. 

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah perlu mempersiapkan data-data akurat sebelum berunding dengan perusahaan-perusahaan OTT tersebut.

sebagai perbandingan, Inggris sukses memungut pajak hingga £ 4,16 juta atau setara Rp 67 miliar dari Facebook. Pajak yang dibayarkan Facebook itu mencapai 1.000 kali lipat dari yang disetorkan pada 2014.

Menurut Prastowo, Inggris memiliki dua keunggulan sehingga bisa menang dalam sengketa dengan Facebook. Pertama, data yang akurat. Kedua, nomenklatur pajak baru yang disebut diverted profit tax.

Melalui skema pajak baru tersebut, Inggris membuat perusahaan seperti Google dan Facebook mau tak mau membayar pajak. Skema itu memungkinkan Inggris memungut pajak atas laba atau royalti setelah dialihkan ke negara lain yang memiliki aturan perpajakan longgar.

Jadi, Prastowo menilai, Pemerintah Indonesia tidak akan bisa memaksa perusahaan OTT membayar pajak jika hanya menetapkan perusahaan itu sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. "Saya rasa Google punya skema tax planning yang sama di seluruh dunia. Dia buat satu, diterapkan di seluruh dunia,” katanya di Jakarta, Selasa (11/10).

Jika negosiasi pemerintah dengan Google buntu, Prastowo menambahkan, pemerintah perlu mengeluarkan data pendapatan Google di Indonesia. Dengan data itu, Google tidak bisa menolak membayar pajak. Karena secara normatif, negara sumber pendapatan berhak memungut pajak dari perusahaan yang mendapat keuntungan di wilayahnya.

“Jelas dalam international  tax, negara sumber berhak memajaki. Seberapa besar itu perlu negosiasi, perlu dirundingkan, kalau tidak berunding agak susah,” kata Prastowo. Ia yakin, jika dibawa ke pengadilan, pemerintah bakal kalah lantaran undang-undang pajak yang ada tidak bisa menjerat perusahaan-perusahaan tersebut.

Sekadar informasi, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak sempat mengirimkan surat pemeriksaan pajak kepada Google. Namun, surat itu justru dikirim balik lantaran perusahaan digital asal Amerika Serikat itu menolak ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Padahal, perusahaan asing yang memiliki aktivitas di Indonesia hanya bisa dipajaki jika memiliki status BUT.

Merespons sikap Google, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan mengajak perusahaan tersebut berdiskusi. Jika tak juga ada kesepakatan, maka pemerintah akan membawa sengketa dengan Google ke pengadilan pajak.

Di lain kesempatan, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan tengah mengupayakan negosiasi dengan Google. Sebab, berdasarkan surat yang diterimanya dari Google, tidak ada pernyataan yang mengindikasikan penolakan untuk membayar pajak.

“Saya dorong terus. Duduk sama-sama selesaikan masalah ini. Bayarnya berapa, caranya bagaimana? Nanti teman-teman di Kementerian Keuangan yang punya caranya, tapi saya ajak terus mereka untuk duduk bersama,” kata Rudi. “Facebook, saya belum bicara lagi.”

Adapun rencana pembuatan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait OTT, menurut Rudi, baru akan dikaji setelah ada kesepakatan dengan Google. Dalam aturan ini, pemerintah ingin menerapkan aturan pajak yang berlaku bagi OTT baik internasional maupun nasional.

Dia berharap, aturan yang dibuat bisa diterapkan tanpa paksaan tetapi memiliki sanksi yang tegas bagi pelanggar. “(PMK) tunggu selesai (Google) ini. Nanti bayar pajaknya, cara bayar pajaknya. Kalau ini selesai baru terapkan semuanya,” katanya.

    Simak Berita lainnya seputar topik artikel ini :

  • bisnis
  • ekonomi