Selasa, 22 Mei 2018 - 08:29:00 WIB - Viewer : 3780

Raperda Sampah Termal Bebani Keuangan Daerah

Ed : Feri

Ist
Tumpukan sampah

AMPERA.CO, Palembang - Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Palembang, Subagio Racmad Sentosa mengaku, jika Raperda Sampah Termal hanya akan menjadi beban bagi daerah hingga puluhan tahun.

Dikatakannya, sejak awal sudah tidak beres dimana, draft Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengelolaan Sampah Termal yang diajukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota (DLHK) Palembang itu sudah mengalami 4 kali perubahan judul, namun tanpa ada perubahan kajian akademik.

"Ini aneh. Draft berubah, tapi kajian akademik tidak berubah. Artinya, tidak ada keterkaitan atau sinkronisasi antara kajian akademik dengan draft," katanya, Senin (21/5).

Parahnya lagi, sambung Subagio, perubahan akhir isi Raperda tersebut begitu normatif dan menghilangkan beberapa poin krusial dari Raperda itu.

Dengan demikian, ia menilai, Raperda ini seolah-olah tunduk pada perjanjian kerjasama yang sudah dibuat, jauh sebelum Raperda tersebut di bahas di Legislatif.

"Perlu di catat bahwa, perjanjian kerjasama Pemkot Palembang dengan pihak ketiga karena sudah mendapat izin prinsip dari pimpinan dewan seperti yang tertuang dalam pasal 11 PP 50 Tahun 2007 tentang kerjasama daerah yaitu meliputi subjek, objek, ruang lingkup kerjasama, hak dan kewajiban kedua pihak, besarnya nilai kerjasama, jangka waktu kerjasama, serta keuntungan dan kerugian. Tapi, sampai sekarang kami tidak pernah diperlihatkan izin prinsip tersebut begitu juga perjanjian kerjasama nya. Atau ini hanya keterangan dari kepala DLHK Palembang yang tidak benar ?," katanya.

Awalnya, kata Subagio, perubahan draft Raperda mengikuti masukan dari anggota Bapemperda atas dasar Perpres Nomor 35 Tahun 2018, dimana judulnya tetap sama yakni Pengelolaan Sampah secara Termal (perubahan pertama dan kedua tanpa dibahas oleh Bapemperda)

Kemudian, perubahan ketiga, merubah judul menjadi kerjasama teknologi ramah lingkungan dengan poin penting kegiatan tahun jamak. Tapi setelah rapat dengan Bapemperda dan dianggap bertentangan dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 dan PMK Nomor 157/02 Tahun 2013. Maka berkembang dari Kepala DLHK Palembang tidak lagi menggunakan tahun jamak, tapi menggunakan sistem Build Owner Operate (BOO) atau investasi murni.

Tapi, setelah dihadirkan tim ahli, ternyata sistem BOO untuk Raperda bertentangan dengan Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2016. Maka terjadi lagi berupahan keempat yakni, merubah judul menjadi pengelolaan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan dengan mekanisme kerjasama.

"Tapi dalam perubahan draft judul ke 4, isinya banyak mengambang dan normatif, tidak dijelaskan tentang pokok-pokok perjanjian kerjasama seperti dimaksud dalam pasal 11 PP Nomor 50 Tahun 2007, banyak ayat dan pasal yang menyatakan Raperda tunduk pada perjanjian kerjasama, di pasal 26, tentang peraturan peralihan mengatur tentang perjanjian kerjasama yang sudah ditandatangani sebelum Raperda dibahas dan disahkan, bagiamana jadinya Peraturan UU hukum positif berlaku surut dan Perda tunduk pada perjanjian kerjasama ?," katanya.

Menurutnya, ia sangat menghargai tujuan Pemkot Palembang dalam mengatasi persoalam sampah. Tapi, kalau dengan cara melabrak aturan diatasnya dan berpotensi merugikan daerah tidak bisa dibenarkan (kerjasama sampai 30 tahun menggunakan sistem BOO atau investasi murni). Karena bertentangan dengan Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2016 berbunyi : seluruh pembangunan atau kegiatan penyediaan energi, tidak boleh lagi menggunakan sistem BOO. Karena sistem BOO tidak memberikan untung kepada daerah

Dijelaskannya, kerjasama yang dilakukan Pemkot Palembang selama ini yang jangka waktunya panjang cenderung merugikan daerah. Contohnya, pengelolaan Pasar 16 Ilir, Pengelolaan Kambang Iwak Park (KIP). Dimana investor baru investasi sedikit, tapi karena diwaktu tertentu selama pelaksanaan hak dan kewajiban bermasalah, investor malah minta ganti rugi lebih besar dari pada nilai investasi yang sudah ditanamnya.

"Saya menilai, potensi pengeluaran untuk pelaksanaan Raperda ini akan sangat membebani keuangan daerah, bayangkan selama ini saja, biaya angkutan sampah yang dilakukan DLHK Palembang dengan angkutan rata-rata 800 ton per hari, daerah dibebani Rp 20 miliar per tahun. Sementara dalam perjanjian kerjasama ini akan ada penambahan armada baru karena Pemkot Palembang dituntut mampu menyediakan sampah 1000 ton per hari," ujarnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, memang benar pengelolaan sampah termal ini memiliki dasar yakni, Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengelolaan sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan. Dimana dalam pasal 3 ayat (1) ada 11 Pemda selain Palembang yang akan melaksanakan pengelolaan sampah secara termal.

"Tapi, yang jadi cacatan Pemkot Palembang adalah, dari 12 daerah termasuk Palembang, hanya dua daerah yang bersedia melanjutkan program ini yakni Palembang dan Makasar, sisanya menolak," katanya.

Selain berbagai persoalan itu, ia juga menambahkan bahwa sampai saat ini tidak pernah melihat perjanjian kersama antara Pemkot Palembang dan pihak ketiga. Karena, didalamnya ada izin Sekda dan Walikota.

"Harusnya di publis. Sesuai UU Nomor 14 tentang keterbukaan informasi publik," pungkasnya.

    Simak Berita lainnya seputar topik artikel ini :